UN dan Potret Pendidikan
Diposting oleh
Unknown
|
Kamis, 05 Juni 2014
UN dan Potret Pendidikan
Dari fenomena pro kontra UN ini, terlihat potret pendidikan kita “aslinya”. Kita bisa menilik realitas konkret pada momentum UN dewasa ini. Masyarakat bisa menyaksikan bagaimana siswa–siswa yang mengikuti UN harus dikawal dengan penjagaan ekstra, mirip “darurat militer”. Dan ini merujuk pada satu persepsi bahwa produk yang dihasilkan oleh pendidikan belum menciptakan manusia yang seutuhnya, manusia pun ternyata harus dijaga agar tidak berbuat curang dalam UN. Dan begitupun juga, mau atau tidak mau proses pendidikan di Negara kita adalah yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Tujuan pendidikan yang menciptakan manusia yang bertanggung jawab dan bermoral ternyata belum dicapai oleh siswa.
Kecurangan dan ketidaksiapan dalam mengikuti UN adalah indikator atas itu semua. Sehingga dapat diasumsikan bahwa potret pendidikan nasional hari ini telah gagal, disebabkan karena pemerintah tidak percaya dengan proses pendidikan. Anda saja pemerintah percaya terhadap output proses pendidikan, maka pemerintah tidak perlu menjadikan siswa seperti ‘terpenjara’.
Menurut penulis, terdapat 2 langkah strategis yang bisa dilakukan pemerintah dalam mereformasi dan merevitalisasi persoalan ”Pro Kontra UN” ini yaitu Pertama,Pihak pemerintah melalui Depdikbud harus merancang sistem ujian atau penilaian yang sistematis, bertahap, dan berkelanjutan. Sistem penilaian harus dapat difungsikan untuk mendeteksi potensi dan kompetensi siswa sekaligus bisa memetakan kompetensi guru dalam keberhasilan pembelajaran di kelas. Hasil UN juga harus ditindaklanjuti dengan berbagai program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif.
Kedua,Sistem penilaian (UN) “kedepan”, harus mampu memberi informasi yang akurat; mendorong siswa untuk belajar; memotivasi guru dalam pembelajaran; meningkatkan kinerja lembaga; dan meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan sistem penilaian yang demikian diharapkan secara berangsur-angsur mutu pendidikan di tanah air akan meningkat. Di lain pihak, para praktisi pendidikan di lapangan, terutama guru dan Kepala Sekolah harus meningkatkan kompetensi dan kinerjanya, sehingga kualitas pembelajaran di kelas akan meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan mutu pendidikan.
Dan ketiga, Penulis, mendesak pemerintah “Kaji Ulang” yang namanya Ujian Nasional” apabila, kelihatannya banyak madlorot dibandingkan manfaatnya, tentu harusnya dihapus saja. Atau bisa saja UN difungsikan sebagai pemetaan, pelaksanaannya tidak harus tiap tahun, tetapi secara periodik 3-5 tahun dengan pengambilan sampel. Jika menjadi ujian kelulusan, ujian nasional (UN) justru mematikan kreativitas siswa dan membuat siswa jenuh belajar. Idealnya, untuk ujian kelulusan, lakukan saja ujian sekolah karena guru dan sekolah yang mengetahui secara persis kondisi siswa.
Dengan demikian berapapun standar kelulusan yang akan ditetapkan pemerintah akan selalu siap, tanpa ada rasa takut dan kaget. Di sisi lain pula para siswa dan orang tua juga akan tumbuh kesadaran bahwa untuk mencapai hasil yang memuaskan harus ditempuh dengan kerja keras, sehingga anggapan dalam ujian pasti lulus 100% hilang dari pikiran mereka. Kalau semua pihak sudah pada pemikiran, kesadaran, dan tindakan yang sama, maka mutu pendidikan di Indonesia perlahan-lahan namun pasti akan meningkat. Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak bisa ditempuh dengan cara parsial tetapi harus holistik dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam dunia pendidikan.
Kiranya, Pro Kontra UN masih akan terus terjadi, karena dalam perjalanannya sampai hari ini (Selasa/15/04/2014), UN belum juga dievaluasi secara menyeluruh di hadapan publik. Tidak kecuali, UN tetap dilaksanakan meski banyak pihak belum merasa puas terhadap rencana penyelenggaraan tersebut pada tahun mendatang. Atau mungkin UN akan dihapus? Wallahu A’lam.
read more : http://suaraguru.wordpress.com/2014/04/17/pro-kontra-ujian-nasional-2/

0 komentar:
Posting Komentar